Ketupat, hidangan khas yang selalu ada saat perayaan Lebaran di Indonesia, ternyata memiliki sejarah dan filosofi yang cukup dalam. Menurut sejarawan Belanda, Hermanus Johannes de Graaf, ketupat pertama kali diperkenalkan di Tanah Jawa pada abad ke-15 saat Kerajaan Demak berkuasa. Sunan Kalijaga memperkenalkan ketupat sebagai bagian dari upaya dakwah untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa yang pada masa itu dianggap “sulit untuk di-Islamkan” karena masyarakat Jawa telah memiliki sistem kepercayaan sendiri yang dikenal sebagai Kejawen.
Dalam melakukan dakwah, Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya, dan salah satu metodenya adalah dengan memilih ketupat karena dianggap dapat dekat dengan kebudayaan masyarakat Jawa pada waktu itu. Akhirnya, penyebaran agama Islam diterima secara luas oleh masyarakat Jawa, dan banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam.
Filosofi dan makna di balik ketupat juga memiliki kedalaman yang mengesankan. Pembuatan ketupat yang rumit dengan teknik anyaman menggambarkan keragaman masyarakat Jawa yang harus disatukan melalui tali silaturahmi. Bentuk segi empat yang khas dari ketupat menggambarkan prinsip “kiblat papat, limo pancer (empat arah, satu pusat)”, yang memiliki makna “manusia pasti akan kembali pada Allah, di mana pun dia berada”. Bentuk empat sisi tersebut juga memiliki makna filosofis lain, yaitu melambangkan empat aspek kehidupan manusia, yaitu fisik, emosional, mental, dan spiritual.
Bentuk segi empat yang khas dari ketupat juga melambangkan empat jenis nafsu dasar manusia, yaitu amarah (emosi), syahwat (nafsu makan dan minum), hawa nafsu (keinginan untuk memiliki hal-hal yang diinginkan), dan ghadab (keinginan untuk memaksa diri). Keempat nafsu dasar ini dikendalikan selama puasa. Dengan memakan ketupat saat lebaran, seseorang dianggap telah mampu menahan nafsunya dan mengontrol diri.
Tidak hanya memiliki makna filosofis yang dalam, pembuatan ketupat juga melibatkan bahan-bahan alami, seperti beras dan daun kelapa muda yang dapat diurai dengan mudah. Daun kelapa muda, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai janur, memiliki makna “Cahaya Surga”. Tidak hanya itu, ada juga yang menganggap janur merupakan akronim dari “Jatining Nur”, yang dalam bahasa Jawa berarti “Hari Nurani”. Filosofinya, pada saat perayaan Lebaran, kita harus membersihkan hati dari segala hal negatif agar bisa kembali ke fitrah dan kembali suci dengan saling memaafkan.
Secara umum, makna dari ketupat adalah simbolisasi dari nafsu dunia yang terkurung atau terbelenggu. Ketupat juga dapat melambangkan rasa syukur dan rasa persaudaraan, karena bentuknya yang bulat dan padat, menunjukkan kesatuan dan kebersamaan.
Selain itu, ketupat juga menjadi simbol dari keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual. Dalam konteks agama Islam, ketupat sering diidentikan dengan bulan Ramadan dan menjadi hidangan khas saat perayaan Idul Fitri. Sedangkan dalam konteks kebudayaan Indonesia, ketupat sering dihidangkan pada berbagai acara seperti pernikahan, khitanan, dan upacara adat.
Ketupat juga memiliki nilai ekonomi, terutama di Indonesia, di mana pembuatan dan penjualan ketupat menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat. Di era modern, ketupat telah menjadi salah satu produk kuliner Indonesia yang memiliki daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga menjadi salah satu ikon pariwisata Indonesia.
sumber: Mengapa Ketupat Selalu Ada Setiap Lebaran?
The post Rahasia di Balik Ketupat: Mengapa Makanan Ini Selalu Ada di Hari Raya Lebaran? appeared first on Tumbas.in.